Wanna search something?

Saturday, November 14, 2020

Tentang Mimpi

 "...enak ya Pus jadi kamu..."

Betapa orang mudah berbicara, maka muncul sebuah quote "talk is cheap". Eh ya tapi tergantung siapa dulu yang ngomong, motivator itu dibayar mahal kan ya wkwk.

Orang mana tahu, dan mana mau tahu, bahwa sebuah hasil berasal dari panjangnya proses yang dilalui. Gimana? Udah capek dengar kata-kata semacam itu? Tapi yaa.....memang begitu bukan kenyataannya?

Kata orang juga, iya kata orang lagi, eh apa kata lagu? Katanya "hidup itu berawal dari mimpi". Temanku Maria, jelas amat percaya kata-kata itu. Bagaimana tidak, 2x dia mimpi mendapat nilai bagus saat Ujian Nasional dan kenyataanya sama persis. Mimpimu ajaib, Mar!

Eh, iya, iya, bukan mimpi yang itu.

Belum lama aku sadar bahwa orang hidup itu pasti punya tujuan, lebih tepatnya harus punya tujuan. Well, karena di usia-usia yang katanya quarter-life ini adalah waktu-waktu penting untuk kembali bertanya "aku ini hidup mau ngapain sih?". Kemudian terkadang kita masih bingung dengan tujuan itu dan munculah "quarter-life crisis", benar begitu sejarahnya? Kita menyebut tujuan itu sebagai mimpi, yang harus diperjuangkan supaya jadi kenyataan. 

Siapa yang tidak punya mimpi? Hmm...aku sepertinya, lebih tepatnya aku yang sekarang. Sebenarnya, aku tidak punya banyak mimpi, atau lebih tepatnya mimpi itu telah gugur satu-persatu seiring bertambahnya usiaku. Mungkin inilah yang namanya dihadapkan dengan kenyataan.

Kenyataan ini sebenarnya unik, kata lainnya adalah cobaan, atau ujian juga bisa. Salah satu kenyataan yang banyak mengubah arah hidupku adalah gagalnya aku meraih mimpiku untuk kuliah di teknologi pangan. "Mengapa ngga ngulang ikut ujian masuk lagi, Pus? Katanya mimpi harus diperjuangkan", mungkin begitu pikiran dan tanggapan orang-orang. Tapi begitulah kenyataan, memberi pilihan untuk lanjut atau berhenti berjuang, dan aku memilih untuk berhenti. Kenyataan ini kadang juga membuat kita berpikir ulang, menimbang, mengevaluasi, apa banget sih ya bahasanya wkwkwk. Keputusanku berhenti adalah karena aku akhirnya benar-benar sadar bahwa aku memang tidak sepintar itu untuk "bertahan" di teknologi pangan. Bukannya tidak ingin berusaha lebih keras ya, maksudku kapasitas otak jenius akademis itu memang bawaan lahir cuy. Aku sadar parah sih daripada aku mbekos memperjuangkan IPK, lebih baik otakku dipakai untuk hal yang lain.

Kemudian masuklah aku di Perikanan. Jauh beb, jauh. Putar baliknya kejauhan. Mulai dari itu aku tak banyak lagi bermimpi. Aku memilih menjalani hidup, menikmati semua yang terjadi. Tak banyak kusadari bahwa mimpi teknologi pangan-ku yang gagal sudah ditukar banyak hal lain oleh-Nya. Pernah di suatu waktu entah kesambet apa ya, aku merasa bahwa aku harus berguna, dunia hari ini harus ada yang beda karena ada aku. Waktu-waktu selanjutnya menjadi hari-hari yang menyenangkan. Suatu hal yang bisa jadi tak terpikirkan bagiku apabila aku masuk tekpang (karena niatnya kan fokus kuliah aja y xixixi). Hamdalah, di Perikanan mau ngga pulang ke rumah berapa hari atau mau meeting sampai mampus juga tetep cumlaude kak AHAHHA SHOMBONX TP GPP.

Tapi ya, dunia perkuliahanku sudah selesai, lebih tepatnya hampir benar-benar selesai. Pandemi ini membuatku lulus lebih cepat, tetapi masih meninggalkan hutang wkwk. Kembali lagi aku di fase mempertanyakan tujuan. Aku sebenarnya masih punya satu mimpi, sebuah value yang menurutku jadi satu pembuktian yang layak diperjuangkan. Sadar penuh diri ini tidak punya banyak "modal". Mungkin itulah satu hal yang masih aku pegang dengan idealisme bulat. Namun sayangnya, mimpi itu kini mulai kelabu... Padahal awalnya tampak begitu cerah, secerah pita elektroforesis isolat bakteriku! Aih, kenyataan yang tidak sejalan memang musuh besar idealisme seseorang bukan?

Waktu terus berjalan. Benar, Allah memang tidak pernah diam. Sedikit banyak Allah memberi ganti dengan kegusaranku yang mulai muncul, eh apakah ini gantinya ya Allah? Apakah lagi-lagi aku harus kehilangan mimpiku?

Aku tahu aku harus mengambil keputusan besar dalam waktu dekat, yang aku jelas tidak siap. Tapi begitulah kenyataan? Suka memaksa?

Maafkan aku ya, Ibu. Saat teman-temanku sudah bersama mimpinya, sibuk di gedung pencakar langit ibukota, mengabdi pada negara dan sekitar, berkolaborasi menjadi orang-orang keren, anakmu ini malah sibuk dengan adonannya. Bisa jadi, bu, hanya tepung dan ragi yang mengerti betapa rumit pikirannya saat ini.

Masih mau bilang jadi aku enak? Ah kelihatannya saja, tapi terima kasih doanya!😇