Wanna search something?

Sunday, January 01, 2017

DIY Paper Roses Flower Bouquet

       So, December was almost over and so did 2016. Well, mostly I always have a project in the end year, last year is Ajud’s Surprise Party with GabutCrew, and I was thinking for what should I do on this year soooooo then I found this idea!

       My mom’s birthday is on January 1, the new year yes, (actually she was born December 31 in the afternoon), and last year I gave her a bouquet of flowers. I was planning to give her a flower bouquet again but then I thought that I wanted to make something special so yea I made this paper roses flower bouquet aha wkwk.

       I found the idea on Pinterest. First I wanted to make it from newspapers but I thought that the color is not good enough I mean no no no just no. Then I remembered that I still have my problem sheet when I was still in the 10 grade, so I took it as the petals. For the stem, I was going to use some copper wire but I couldn’t find it in my hometown and I think it would be a bit expensive (aha wkwk) so I use some sticks (batang lidi in Indonesian). Ok well then It was a bit hard to find where is the lidi seller sooo I stole them from broom stick hahaha (my mum and dad didn’t know).
       So im gonna explain some how to make thing, im sorry I forget to take the picture hehehe.


       What you need:
  • Papers, im using used paper
  • Sticks / craft wire, im using lidi
  • Glue gun
  • Wrapping paper
  • Ribbon
       Steps:
  1. First, cut the newspapers and make into petal shape. Well don’t be afraid to make a different shape each petal because it will make a unique flower then. Make about 5-6 different sizes of petals, mine is 5 sizes, start from 4 cm length and 2 cm wide. 
  2. Cut the lidi in 30 cm length each, I made 45 lidi because I want to make 45 flowers.
  3. Then using glue gun, stick each petal from the smallest one until the biggest. Create as unique as you can. I had about 6-8 petals for each flowers. Beware with the glue gun my mother finger is one of it’s victim *cry*
  4. After each lidi is done, band the flowers into a half-rounded bunch 
  5. Wrap the bouquet as messy-aesthetic as you can hahaha 
  6.  Give them some ribbon! Ready!!









       Well, that's it! Happy new year 2017 anyway, good peeps! xoxo


Thanks for reading!:D

END-YEAR SHORT GETAWAY: SOREM!


Study On Rural Empowerement (SOREM) merupakan salah satu program pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh DEMA Pertanian UGM. SOREM kali ini diadakan di Sureng I, Tepus, Gunungkidul pada tanggal 20-22 Desember 2016. Awalnya sempat malas tak ingin ikut, tapi sebagai mahasiswa, daripada nanti menyesal, apalagi habis UAS tidak punya kegiatan alias gabut, akhirnya aku mendaftar SOREM. *thanks to Shabby yang benar-benar meyakinkanku ikut SOREM dan aku nggak menyesal hehe*

Sore itu tanggal 20 kami sudah sampai di Sureng I, lebih cepat 1 jam dari jadwal karena ternyata jalan tidak macet. Kami menunggu di rumah pak Jafar, Ketua RT 04, sambil ngobrol satu sama lain sesama peserta SOREM karena kami memang belum saling mengenal ehehe. Hingga adzan maghrib tiba kami menuju ke masjid setempat tidak jauh dari rumah pak Jafar. Kondisi masjid cukup bagus, tetapi agaknya jarang dipakai karena waktu kami masuk perlu disapu dahulu sebelum melaksanakan sholat. Warga setempat hanya tampak satu orang yaitu seorang bapak-bapak sepuh. Selesai sholat kami kembali ke rumah pak Jafar dan wohooo! Sudah banyak bapak-ibu asuh yang berkumpul! Oke, aku mengucapkan salam perpisahan kepada teman-teman sekitarku dan bercanda, “Heheheh nanti main ke rumahmu y” wkwkwk. Setelah aku dipanggil, aku mendapat orang tua asuh yaitu keluarga bapak Ngadiyanto. Yang menjemputku adalah seorang ibu-ibu masih cukup muda dan cukup “nyentrik” rambutnya agak semacam diombre dan kekinian seperti ituh hehehe. Kemudian aku diantar sampai ke rumah.

Oke, mari kita bercerita tentang keluarga ini. Dari keluarga besarnya dulu ya biar nanti bisa dong a.k.a jelas. Kakung Adi dan Mbok Karti merupakan sepasang suami istri yang mempunyai 4 anak yaitu Ngadiyanto, Wasi, Sri, dan Sutoyo. Nah, aku mendapat orangtua asuh yaitu anak pertama, pak Ngadiyanto. Keluarga pak Yanto terdiri dari tiga orang yaitu beliau, istrinya yaitu Mak Ji, dan seorang putranya yaitu Fiqih. Pak Yanto merupakan seorang buruh pembuat genteng di daerah Godean. Dalam sebulan, beliau hanya pulang 2 kali ke rumah, dan pada waktu aku berada di rumahnya, beliau belum pulang, jadi aku nggak tau deskripsinya hehe. Istrinya, Mak Ji, masih cukup muda usianya 32 tahun, 5 tahun belakangan ini mengidap penyakit gejala stroke. Tangan kanan Mak Ji tidak bisa digerakkan secara sempurna dan hal itu membatasi kemampuannya beraktivitas. Dahulu Mak Ji juga bekerja menjadi buruh pembuat genteng bersama sang suami. Putra semata wayangnya, Fiqih, masih kelas 4 SD. Mak Ji pernah bercerita dahulu beliau pernah hamil dan Fiqih senang sekali mendengarnya karena dia ingin punya adik. Namun, akibat penyakit yang dideritanya, Mak Ji tidak yakin atas kehamilannya dan pada akhirnya beliau keguguran. Yang menjemput aku dari rumah pak RT tadi bukan Mak Ji, tapi Mak Sri, si putri ketiga. Mak Sri mempunyai dua orang putri yaitu Meli yang masih kelas 5 SD dan Nita yang masih TK. Aku nggak sempat ketemu suaminya Mak Sri jadi ku tidak tahu wkwk. Nah, keluarga pak Yanto hidup bersama keluarga pak Wasi, adiknya *eaaa hidup bersama eaaaa. Keluarga pak Wasi terdiri dari 4 orang anggota keluarga yaitu beliau, istrinya yaitu Mak Ribut (seriously namanya Ribut dan Cuma Ribut doang nggak ada embel-embel apa. Re: siapa tau ada yang kepo), kedua anaknya yaitu Agus kelas 2 SMP dan Bagas masih PAUD. Pekerjaan pak Wasi serabutan di Kota Yogyakarta dan terkadang nyambi di ladang. Ngomong-ngomong soal anak ke-4 yaitu Sutoyo a.k.a Kang Toyo, aku nggak tau persis karena beliaunya sedang tidak ada di rumah tapi sering disebut-sebut sama mereka. Kang Toyo bekerja sebagai buruh di pabrik wajan di Kota Yogyakarta dan masih lajang #fyi. Kata Mbok sih belum mau menikah gitu. Udah segitu aja intro dari keluarga ini hehe. Oiya mau ngasih tau lagi, tahun lalu yang dapat anak asuh adalah Kakung dan Mbok, dan tahun ini gantian anaknya gitu, dan si Mbok nanya-nanyain mas Bimo terus (anak asuhnya tahun lalu) dan well aku nda kenal Mbok:(


Ini keluarganya:D Kanan ke kiri: Mak Ribut, Mbok Karti, Aku, Mak Ji, Mak Sri, Nita, Meli, Fiqih, Bagas.
Keluarga Pak Yanto tinggal di sebuah rumah kecil yang dibagi dua dengan adiknya, keluarga Pak Wasi. Oke, ini benar-benar dibagi dua dan rata karena di bagian tengah ada temboknya. Rumah itu baru setahun yang lalu dibangun. Masih tampak sana-sini hal yang kurang seperti jendela dan daun pintu permanen. Lantainya masih semen dan itu hanya di ruang tamu, jadi sisanya tanah. Masing-masing bagian keluarga ada 1 ruang tamu, 1 ruang tidur, 1 ruang barang-barang, dan 1 dapur. Rumah itu masih belum punya kamar mandi dan WC. Di rumah itu benar-benar tidak ada sumber air. Dua keluarga itu biasa mengambil air di rumah Kakung dan Mbok yang letaknya di bawah seberang jalan rumah mereka. Oiya, kalo ngomong keras-keras pasti seisi rumah terdengar wkwk.


Rumah tampak depan

Keadaan isi rumah benar-benar kurang, apalagi milik keluarga Pak Yanto. Harap diingat karena rumah ini dibagi dua, kadang aku pun berada di rumah Pak Wasi hehe. Di ruang tamu ada sehelai tikar cukup besar, sebuah meja, dan televisi. Di kamar tidak ada kasur, hanya dua lembar tikar, tidak ada furniture lain kecuali sebuah rak untuk menyimpan baju-baju, buku-buku milik Fiqih, dan sebuah meja kecil untuk menaruh makanan dan minuman. Di ruang barang-barang, kosong, hanya ada beberapa perkakas dan tampak kotor. Di dapur pun sama saja, tidak banyak peralatan dapur pada umumnya yang Mak Ji punya. Kalau boleh jujur, keadaan pak Wasi masih lebih baik daripada pak Yanto.

          Suasana rumah pada saat aku datang cukup ramai. “Kalo nggak ada njenengan nggak seramai ini, Mbak.”, begitu kata Mak Ji. Etdah q jadi tersipu. Tapi emang bener sih, di rumah hitungannya  cuma berdua sama Fiqih. Ngomong-ngomong, Mak Sri lah nanti yang akan “mengurus” beberapa kebutuhan selama aku disini karena keterbatasan Mak Ji. Apalagi pagi sebelum aku datang, Mak Ji jatuh saat mengambil air sehingga tubuhnya lebam dan luka-luka. Kung Adi dan Mbok Karti juga datang malam itu dan kami mengobrol hingga pukul 21.30 yang kalau disana dianggap sudah cukup larut. Anak-anak pun biasanya tidur pukul 19.00. Tapi akibat kedatanganku mereka jadi tidur pukul 21.00.  Aku pun tidur di ruang tamu bersama Fiqih dan Meli yang menginap selama aku disini. Well, tidur benar-benar hanya di atas sehelai tikar. Bukan gimana-gimana atau gimana ya, tapi aku kasihan keluarga ini kasur untuk tidur saja tidak punyaL Btw, aku juga masih bisa tidur dengan nyaman, aman, dan tenang kok. Biasa makrab pas-pasan jadi ya dah biasa waqaqa.

Pagi hari, Rabu, 21 Desember, aku bangun terbangunkan alarm HP pukul 04.30 dan lekas mengambil air wudhu di gentong air dapur. Ngomong-ngomong soal sholat, disini nggak pernah ada adzanL. Mak Ji juga sudah bangun, tinggal anak-anak yang masih terlelap. Selesai sholat kami memulai kegiatan di dapur. Agak sempit aku jadi kikuk. Btw bukan gimana-gimana, di rumah, rumahnya dulu punya Simbah jadi rumah jaman dulu kan masih luas gitu ya, ya ya jadi biasanya ya hehe. Mak Ji menyalakan api dan memasak air, aku mencuci peralatan bekas semalam. Oke, Mak Ji tidak punya busa cuci atau mungkin plastic sehingga aku menggosok dengan tanganku sendiri. Mencuci pun tidak boleh bisa banyak-banyak airnya supaya tidak boros dan harus mengambil air. Sebenarnya masih kurang bersih tapi yaudah lah ya kayaknya nggak papa. Kemudian aku menggoreng tahu dan tempe. Tak lama, Mak Sri datang membawa beberapa sayuran yaitu daun papaya, kembang papaya, dan papaya muda, oke semuanya pepaya. Mak Sri juga membawa “gude”, semacam biji-bijian mirip kedelai yang katanya enak. Aku sendiri baru kali ini melihatnya. Gude tadi disayur bersama pepaya muda yang sudah dipotong-potong. Kuah sayur gude ini agak kehitaman, “Memang begitu mbak nek nyayur gude.”, kata Mak Sri. Setelah sayur gude matang, kami membuat oseng daun dan bunga pepaya pedas. Satu yang paling aku notice ketika memasak, beliau-beliau ini kalo ngasih MSG cukup banyak yha hmm mantap. Mak Sri tadi juga sudah membawa nasi jagung yang sudah matang. Sambil menunggu masakan matang, aku dan Meli mengambil air dibawah di rumah Mbok. Ember pertama belum terasa apa-apa, ember kedua masih kuatlah, sampai ember ketiga dan aku disuruh berhenti oleh Mak Ji. Oke sepertinya beliau melihat napasku terengah-engah jadi tidak tega, duh aku jadi malu huft lemah. Saat masakan sudah matang dan siap kami semua berkumpul di ruang tamu dan sarapan pagi bersama, ada Mbok juga datang. Sarapan yang sederhana tapi nikmat, Alhamdulillah. Yang paling bikin trenyuh sih masa Mak Sri bilang, “Mbak, ini kalo nggak ada njenengan biasanya nggak pakai lauk lho, oseng tok.”. Ya Allah padahal aku di rumah kaya apa:((

Ini yang namanya sayur "Gude"

My breakfast, yummm :D

Selanjutnya aku dan Aulia, anak asuh keluarga Pak Wasi, diajak pergi ke ladang oleh Mbok Karti. Keluarga Pak Yanto maupun Pak Wasi bukan petani sehingga yang masih sering ke ladang adalah Kakung dan Mbok. Kami menuju ladang yang tidak jauh dari perkampungan. Ladang milik Kakung dan Mbok cukup luas dan ditanami berbagai palawija. Mereka juga memelihara 2 ekor sapi. “Niki pas wayahe mboten wonten gawean, Mbak.”, begitu kata Mbok sehingga aku dan Aha hanya berkeliling melihat ladang, super gabut dan nirfaedah sebenarnya hehe. Namun, kami sempat membantu mencabuti kacang sisa jarahan kera-kera yang turun bukit, memetik beberapa jagung untuk dibuat bakwan, dan memberi pakan sapi. Ngomong-ngomong soal kera, memang sering kera-kera tersebut turun bukit dan menjarah tanaman warga. Tapi juga tak jarang para warga "hunting" kera untuk dimakan dagingnya, dimasak tongseng begitu katanya, kata Fiqih sih gitu, like yeah seriously kera?!?! Selain kera, mereka juga suka masak tupai a.k.a bajing, yang suka berkeliaran di pohon kelapa itu lho. Ckck.

Salah satu sudut ladang Kakung & Mbok
 
Sapinya Mbok. Seekor harganya 26jeti baru beli 3 bulan lalu katanya.



 Di ladang ini ada gubuk singgahnya juga. Ada tempat duduk-duduk dari kayu, kolam air tadah hujan (biar kalo ngasih minum sapi nggak ribet mbak, kata Kakung), dan perapian (biar nggak digigitin nyamuk, kata Kakung). Rasanya pengen mandi di sana serius, tapi yang bisa mandi cuma anak-anak kecil. Yakali sih mandi disana, padahal juga dibolehin loh HAHAHA.


Mak Ribut dengan jagungnya
 
Mandinya di sebalik itu dan super sueger dan menyatu dengan alam ehehe


Senapan angin milik Kang Toyo


Kami tidak lama-lama di ladang dan terus pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku turun ke rumah Mbok untuk bersih-bersih. Kamar mandi di rumah Mbok seperti kebanyakan kamar mandi di sini, intip-able. Tinggi dindingnya cuma dibawah pundak dikit. Aku tiap mau mandi pasti celingak-celinguk dulu, siapa tau ada yang ngintip atau ada kamera tersembunyi #suudzon hehe. Selesai mandi kami bersiap untuk bazaar murah di masjid. Sebelumnya makan siang dulu hehehehe. Btw, Mak Ribut bikin bakwan jagung beneran. Yang unik adalah this is seriously corn only, i mean without wheat. Jadi biji jagung itu ditumbuk terus dikasih bumbu terus udah digoreng aja. Agak atos begitu yha tapi enak. Maaf nggak ada potonya hehe.

Aku, Aha, Mak Sri, Mak Ribut, Mbok Karti, dan anak-anak bersama-sama menuju bazaar murah. Fiqih awalnya tidak mau ikut. Tampaknya Mak Ji tidak punya uangL Tapi akhirnya dia ikut karena di rumah juga sepi. Suasana bazaar sudah cukup ramai saat kami datang. Para ibu segera memilih-milih baju yang akan dibeli sedangkan aku dan Aha bermain dengan anak-anak di pelataran masjid. Saat bermain aku berkenalan dengan anak-anak lain yang super lucu dan menggemaskan, serasa ingin dibawa pulang, terutama si Dendi!   

Ini si Dendi, paling lucu pas senyum soalnya ngga punya gigi. Sayang ini dia pas mingkem ehe.
 
Kegiatan bazaar murah berlangsung cukup lama karena ibu-ibu menunggu hingga detik-detik terakhir harga per potong baju 500 rupiah. Aku dan Aha sendiri memutuskan untuk membelikan adik-adik asuh kita baju. Aku juga tidak tega pada Fiqih soalnya:( Acara bazaar murah selesai dan satu jam selanjutnya adalah acara vertikultur botol untuk anak-anak. Mereka tampak bersemangat dan antusias menanam bibit tanaman pada botol-botol gantung yang telah diisi media tanam. Acara sore itu diakhiri dengan foto bersama karya masing-masing.

Adeq2 unyu apalagi yang pake jilbab coklat baju merah:D
 
Panitia & peserta yeheee

Aku, Aha, dan anak-anak kembali pulang ke rumah. Sampai disana sudah berkumpul lengkap di ruang tamu keluarga Pak Wasi, wedangan istilahnya. Pokoknya setelah aku amati memang kebiasaan tiap pagi dan sore adalah wedangan bersama dengan menu yang selalu ada yaitu roti bunder a.k.a singkong goreng dipotong-potong. Aku sendiri menikmatinya ehehe.  Kami kemudian lanjut makan malam, masih dengan masakan tadi pagi. Rasanya tetap enak karena bersama-sama. Setelah makan selesai kami masih berbincang-bincang hingga sudah waktunya aku dan Aha berkumpul di rumah pak RT untuk koordinasi volunteer. Saat kami pulang lagi ke rumah, anak-anak sudah terlelap, begitu pula para orang tua. Maka, kami pun ikut menyusul tidur karena rencana esok pagi kami akan diajak jalan ke pantai Ngitun yuhuuuuu~~

Pagi, Kamis, 22 Desember, pukul 04.00 aku sudah bangun (tanpa alarm, aku bangun duluan daripada alarmnya) begitu pula Aha karena suaranya sudah terdengar di ruang sebelah. Kami berdua pamit turun untuk sholat subuh pukul 04.30. Saat kami selesai dan kembali, ternyata anak-anak sudah mulai melek. Pukul 05.00, aku, Aha, Fiqih, Meli, Agus, dan Bagas berangkat jalan kaki ke pantai Ngitun yang jaraknya 3 km dari kampung. Baru beberapa langkah, eh si Bagas nangis karena ditinggal sang kakanda yaitu Kang Agus. Seriously manggilnya “Kang Agus” wkwk lucu e. Oke sebenarnya ada Bagas menghambat laju perjalanan kami hft. Tapi Mak Ribut sepertinya tidak tega dengan tangisan Bagas. Andai aku Mak-nya Bagas, beh getak pisan ra manut guwang wqwqwq. Di jalan yang berbatu kami pun tidak bisa berjalan cepat, kasihan Bagas lah, kakinya kan kecil. Akhirnya dia ku gendong sesekali hingga sampai ke pantai. Untung Bagas masih kecil jadi nggak terlalu berat juga gendongnya ehehe. Perjalanan yang cukup melelahkan terbayar dengan pemandangan pantai Ngitun. 

Oke jalanannya itu doesnt easy as it seems ya

Kami sampai di pantai pukul 06.15, lumayan cepat ini karena katanya biasanya kalo anak cowok itu 1 jam jalan kalo anak cewek bisa sampe 2 jam hanya untuk jalan ke pantai. Di sana rupanya sudah ada Eka dan Mbak Fatma yang tadi diboncengkan motor ayahnya saat kami hanya jalan kaki #kampret. Anak-anak bermain air dan mandi di pantai. Aku hanya sesekali bermain air dan mengambil beberapa foto Polaroid, anak-anak minta kenang-kenangan. Ada yang unik dari pantai Ngitun yaitu tentang sebuah batu yang tidak boleh dipegang karena kalau dipegang bisa jadi gila, begitu yang diceritakan Meli yang kemudian aku ceritakan kepada Mbak Fatma. “Weh dek, aku lupa, aku tadi nggak sadar megang batunya lho.”, kata Mbak Fatma yang membuatku tertawa dan menggodanya, “Eh jangan gitu to Mbak Fat, aku nggak mau ngasih kabar ke kampung kalo kamu jadi edan mbak hahahaha.”, yang membuat Mbak Fatma cemberut. Beberapa rombongan juga datang yaitu Sekar dkk yang semalam ngajak berangkat pukul 05.00 eh ternyata malah aku yang beneran jam segitu dianya yang molor ew. Menjelang pukul 07.00, Mak Sri dan Pak Wasi sudah datang menjemput kami. Ya, perjanjian awal memang begitu, kami berangkat jalan kaki kemudian pulangnya baru dijemput hehehe. Setelah anak-anak membilas tubuh, kami lekas pulang. Nggak sempat foto-foto banyak, selain refill polaroid yang limited, hapeku low batt hiks:(

Bersama bocah-bocah
Ayuk-Sekar-Me

Oke, perjalanan pulang ini cukup ekstrim pemirsa. Pak Wasi, Aha, dan Bagas satu motor. Aku, Mak Sri, Nita, dan Meli satu motor, ini agak overload ya. Benar saja pada saat tanjakan tercuram, baru juga seperlima jalan, motor sudah macet dan cepat-cepat aku turun karena masih ingin hidup. Jadilah aku jalan kaki dengan para bocah lelaki yang jalan kaki yaitu si Fiqih dan Agus. Entah, tanjakan itu terasa super berat bagiku sehingga aku ditertawai bocah-bocah itu. Yakin deh itu paling sekitar yah 60-70 derajat kemiringannya. Mak Sri sudah menunggu di atas. Perjuangan belum selesai sampai disitu. Jalan yang berbatu membuat motor “ngogel-ngogel” yang untungnya Mak Sri sudah mahir, Alhamdulillah yah. Aku dengan berdebar memegang erat sadel motor. Jalan berbatu tak apa, tapi jatuh itu sakit, itu kata-kata Mak Sri yang oke itu memang benar. Mak Sri sendiri bilang kalau hujan dia sendiri tidak berani. Memang sih tanah liat bikin super licin. Aku cukup lega saat sudah masuk jalan perkampungan. Sampai di rumah aku benar-benar lemas hingga Mak Ji bertanya, “Njenengan kenapa, Mbak? Ketoke kok lemes tenan.”, duh lagi-lagi aku jadi malu #lemah. Setelah itu Mak Ji menyuruhku mengambil air. Karena itu adalah hari terakhirku disana, aku mencoba berbuat lebih banyak dan aku berhasil mengambil 4 ember air. Tidak banyak sih, hanya selisih 1 ember tapi Mak Ji sudah senang wkwk. Kemudian aku bersih-bersih dan bersiap packing pulang.

Pukul 12.00, aku dan Aha menuju ke rumah pak RT untuk makan siang bersama dan mengambil jatah sembako untuk keluarga asuh. Setelah itu kami kembali lagi untuk berpamitan. Ya, akhirnya ini waktunya pulang, berpisah dari mereka.. Aku hanya membawa satu buah kenang-kenangan, dan kalau sesuai keluarga asuh, aku hanya bisa memberi pada Mak Ji. Padahal, seluruh keluarga besar ini mengurusku. Mereka juga memberiku oleh-oleh sekardus pula. Duh aku jadi super nggak enak:(:(:( Mbok Karti, Mak Ji, Mak Sri, dan Mak Ribut berlinang air mata, Meli malah benar-benar menangis. Etdah bocaaah:(:( Aku sendiri tidak bisa menangis karena aku merasa ini bukan kali terakhir kita bertemu tetapi suatu hari nanti aku pasti akan kembali lagi kesana…

Sewaktu pamitan pulang :'D
Banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari mereka, ditengah kesulitan dan keterbatasan yang mereka hadapi. Terutama tentang arti bersyukur. Masalah kesulitan akses air yang menjadi salah satu kebutuhan utama membuat kebersihan diri dan lingkungan keluarga ini kurang terjaga. Sanitasi dua keluarga ini terbatas. Anak-anak apabila ingin buang air kecil langsung menuju ke halaman depan rumah dan (re: maaf) tanpa cebok maupun cuci tangan. Keterbatasan Mak Ji pula membuat rumah sedikit tidak terurus dan terlihat kotor. Anak-anak sendiri tidak punya hiburan lain selain nonton sinetron dan bermain game di HP. Makanan yang dimakan juga sangat sederhana dan tiap hari kami pasti makan singkong. Daging dan telur adalah makanan yang mewah bagi mereka.  Akses kesehatan masih cukup jauh. Begitu pula kegiatan rohani masyarakat yang kurang aktif. Masih banyak kekurangan lain yang membuat aku bersyukur atas kehidupan yang aku jalani sekarang kala membuka kran air masih keluar airnya bersih dan lancar.

Mahasiswa punya peran yang besar dalam menghadapi permasalahan di masyarakat seperti ini. Contohnya di Sureng I ini, mahasiswa Pertanian UGM sudah mulai membantu para petani dengan membagi pembasmi hama organik. Seharusnya hal ini perlu diikuti oleh mahasiswa dengan disiplin ilmu lain seperti medika dan teknik. Aku sempat berbincang-bincang dengan Mak Ji dan Mbok Karti tentang penyakit yang diderita Mak Ji dan banyak informasi-informasi kesehatan yang ternyata beliau-beliau belum mengerti. Mahasiswa kelompok studi maupun yang suka melakukan penelitian dapat terjun langsung dan menerapkan ilmunya. Satu hal yang membuat aku gemas adalah kala mengambil air yang naik turun. Hal ini dapat sedikit diatasi dengan membuat katrol sederhana yang pasti itu akan sangat mudah dibuat oleh mahasiswa teknika. Bisa bermanfaat banget kalau mereka-mereka yang researcher langsung terjun mengatasi masalah di masyarakat. Selain itu aktivitas rohani warga perlu lebih ditingkatkan dan ini memerlukan pengorbanan dari orang-orang yang benar-benar ingin mengabdi kepada Allah.

Kegiatan SOREM yang diadakan oleh DEMA Faperta UGM ini menurtku sudah banyak membantu baik untuk warga kampung maupun peserta volunteer. Kami bisa “bertukar kawruh” satu sama lain. Sebetulnya kegiatan pengabdian masyarakat seperti ini sebaiknya dilakukan dengan tenggang waktu lebih lama, misalnya seminggu. Namun, aku sendiri mengerti keterbatasan kemampuan panitia tapi apabila hal itu bisa direalisasikan pasti mengabdinya akan lebih terasa. Beneran deh sumpah wkwk. Aku berharap kegiatan SOREM ini bisa terus diadakan tiap tahun supaya mahasiswa sedikit banyak bisa merasakan kehidupan nyata yang kejam dan keras dan air susah.

Terlebih dari itu semua, jangan lupa, beneran deh, banyak-banyaklah bersyukur.  Terima kasih SOREM, aku punya keluarga baru! :)

*im waiting for next year's SOREM:p