Study
On Rural Empowerement (SOREM) merupakan salah satu program pengabdian
masyarakat yang dilaksanakan oleh DEMA Pertanian UGM. SOREM kali ini diadakan
di Sureng I, Tepus, Gunungkidul pada tanggal 20-22 Desember 2016. Awalnya
sempat malas tak ingin ikut, tapi sebagai mahasiswa, daripada nanti menyesal,
apalagi habis UAS tidak punya kegiatan alias gabut, akhirnya aku mendaftar
SOREM. *thanks to Shabby yang benar-benar meyakinkanku ikut SOREM dan aku nggak
menyesal hehe*
Sore
itu tanggal 20 kami sudah sampai di Sureng I, lebih cepat 1 jam dari jadwal
karena ternyata jalan tidak macet. Kami menunggu di rumah pak Jafar, Ketua RT
04, sambil ngobrol satu sama lain sesama peserta SOREM karena kami memang belum
saling mengenal ehehe. Hingga adzan maghrib tiba kami menuju ke masjid setempat
tidak jauh dari rumah pak Jafar. Kondisi masjid cukup bagus, tetapi agaknya
jarang dipakai karena waktu kami masuk perlu disapu dahulu sebelum melaksanakan
sholat. Warga setempat hanya tampak satu orang yaitu seorang bapak-bapak sepuh.
Selesai sholat kami kembali ke rumah pak Jafar dan wohooo! Sudah banyak
bapak-ibu asuh yang berkumpul! Oke, aku mengucapkan salam perpisahan kepada
teman-teman sekitarku dan bercanda, “Heheheh nanti main ke rumahmu y” wkwkwk.
Setelah aku dipanggil, aku mendapat orang tua asuh yaitu keluarga bapak
Ngadiyanto. Yang menjemputku adalah seorang ibu-ibu masih cukup muda dan cukup
“nyentrik” rambutnya agak semacam diombre dan kekinian seperti ituh hehehe.
Kemudian aku diantar sampai ke rumah.
Oke,
mari kita bercerita tentang keluarga ini. Dari keluarga besarnya dulu ya biar
nanti bisa dong a.k.a jelas. Kakung Adi dan Mbok Karti merupakan sepasang suami
istri yang mempunyai 4 anak yaitu Ngadiyanto, Wasi, Sri, dan Sutoyo. Nah, aku
mendapat orangtua asuh yaitu anak pertama, pak Ngadiyanto. Keluarga pak Yanto
terdiri dari tiga orang yaitu beliau, istrinya yaitu Mak Ji, dan seorang
putranya yaitu Fiqih. Pak Yanto merupakan seorang buruh pembuat genteng di
daerah Godean. Dalam sebulan, beliau hanya pulang 2 kali ke rumah, dan pada
waktu aku berada di rumahnya, beliau belum pulang, jadi aku nggak tau
deskripsinya hehe. Istrinya, Mak Ji, masih cukup muda usianya 32 tahun, 5 tahun
belakangan ini mengidap penyakit gejala stroke. Tangan kanan Mak Ji tidak bisa
digerakkan secara sempurna dan hal itu membatasi kemampuannya beraktivitas.
Dahulu Mak Ji juga bekerja menjadi buruh pembuat genteng bersama sang suami.
Putra semata wayangnya, Fiqih, masih kelas 4 SD. Mak Ji pernah bercerita dahulu
beliau pernah hamil dan Fiqih senang sekali mendengarnya karena dia ingin punya
adik. Namun, akibat penyakit yang dideritanya, Mak Ji tidak yakin atas
kehamilannya dan pada akhirnya beliau keguguran. Yang menjemput aku dari rumah
pak RT tadi bukan Mak Ji, tapi Mak Sri, si putri ketiga. Mak Sri mempunyai dua
orang putri yaitu Meli yang masih kelas 5 SD dan Nita yang masih TK. Aku nggak
sempat ketemu suaminya Mak Sri jadi ku tidak tahu wkwk. Nah, keluarga pak Yanto
hidup bersama keluarga pak Wasi, adiknya *eaaa hidup bersama eaaaa. Keluarga
pak Wasi terdiri dari 4 orang anggota keluarga yaitu beliau, istrinya yaitu Mak
Ribut (seriously namanya Ribut dan Cuma Ribut doang nggak ada embel-embel apa.
Re: siapa tau ada yang kepo), kedua anaknya yaitu Agus kelas 2 SMP dan Bagas
masih PAUD. Pekerjaan pak Wasi serabutan di Kota Yogyakarta dan terkadang
nyambi di ladang. Ngomong-ngomong soal anak ke-4 yaitu Sutoyo a.k.a Kang Toyo,
aku nggak tau persis karena beliaunya sedang tidak ada di rumah tapi sering
disebut-sebut sama mereka. Kang Toyo bekerja sebagai buruh di pabrik wajan di
Kota Yogyakarta dan masih lajang #fyi. Kata Mbok sih belum mau menikah gitu.
Udah segitu aja intro dari keluarga ini hehe. Oiya mau ngasih tau lagi, tahun
lalu yang dapat anak asuh adalah Kakung dan Mbok, dan tahun ini gantian anaknya
gitu, dan si Mbok nanya-nanyain mas Bimo terus (anak asuhnya tahun lalu) dan
well aku nda kenal Mbok:(
|
Ini keluarganya:D Kanan ke kiri: Mak Ribut, Mbok Karti, Aku, Mak Ji, Mak Sri, Nita, Meli, Fiqih, Bagas. |
|
Keluarga
Pak Yanto tinggal di sebuah rumah kecil yang dibagi dua dengan adiknya,
keluarga Pak Wasi. Oke, ini benar-benar dibagi dua dan rata karena di bagian
tengah ada temboknya. Rumah itu baru setahun yang lalu dibangun. Masih tampak
sana-sini hal yang kurang seperti jendela dan daun pintu permanen. Lantainya
masih semen dan itu hanya di ruang tamu, jadi sisanya tanah. Masing-masing
bagian keluarga ada 1 ruang tamu, 1 ruang tidur, 1 ruang barang-barang, dan 1
dapur. Rumah itu masih belum punya kamar mandi dan WC. Di rumah itu benar-benar
tidak ada sumber air. Dua keluarga itu biasa mengambil air di rumah Kakung dan
Mbok yang letaknya di bawah seberang jalan rumah mereka. Oiya, kalo ngomong
keras-keras pasti seisi rumah terdengar wkwk.
|
Rumah tampak depan |
Keadaan
isi rumah benar-benar kurang, apalagi milik keluarga Pak Yanto. Harap diingat
karena rumah ini dibagi dua, kadang aku pun berada di rumah Pak Wasi hehe. Di
ruang tamu ada sehelai tikar cukup besar, sebuah meja, dan televisi. Di kamar
tidak ada kasur, hanya dua lembar tikar, tidak ada furniture lain kecuali
sebuah rak untuk menyimpan baju-baju, buku-buku milik Fiqih, dan sebuah meja
kecil untuk menaruh makanan dan minuman. Di ruang barang-barang, kosong, hanya
ada beberapa perkakas dan tampak kotor. Di dapur pun sama saja, tidak banyak
peralatan dapur pada umumnya yang Mak Ji punya. Kalau boleh jujur, keadaan pak
Wasi masih lebih baik daripada pak Yanto.
Suasana rumah pada saat
aku datang cukup ramai. “Kalo nggak ada njenengan nggak seramai ini, Mbak.”,
begitu kata Mak Ji. Etdah q jadi tersipu. Tapi emang bener sih, di rumah
hitungannya cuma berdua sama Fiqih.
Ngomong-ngomong, Mak Sri lah nanti yang akan “mengurus” beberapa kebutuhan
selama aku disini karena keterbatasan Mak Ji. Apalagi pagi sebelum aku datang,
Mak Ji jatuh saat mengambil air sehingga tubuhnya lebam dan luka-luka. Kung Adi
dan Mbok Karti juga datang malam itu dan kami mengobrol hingga pukul 21.30 yang
kalau disana dianggap sudah cukup larut. Anak-anak pun biasanya tidur pukul
19.00. Tapi akibat kedatanganku mereka jadi tidur pukul 21.00. Aku pun tidur di ruang tamu bersama Fiqih dan
Meli yang menginap selama aku disini. Well, tidur benar-benar hanya di atas
sehelai tikar. Bukan gimana-gimana atau gimana ya, tapi aku kasihan keluarga
ini kasur untuk tidur saja tidak punyaL Btw, aku juga
masih bisa tidur dengan nyaman, aman, dan tenang kok. Biasa makrab pas-pasan jadi
ya dah biasa waqaqa.
Pagi
hari, Rabu, 21 Desember, aku bangun terbangunkan alarm HP pukul 04.30 dan lekas
mengambil air wudhu di gentong air dapur. Ngomong-ngomong soal sholat, disini
nggak pernah ada adzanL. Mak Ji juga sudah bangun, tinggal anak-anak
yang masih terlelap. Selesai sholat kami memulai kegiatan di dapur. Agak sempit
aku jadi kikuk. Btw bukan gimana-gimana, di rumah, rumahnya dulu punya Simbah
jadi rumah jaman dulu kan masih luas gitu ya, ya ya jadi biasanya ya hehe. Mak
Ji menyalakan api dan memasak air, aku mencuci peralatan bekas semalam. Oke,
Mak Ji tidak punya busa cuci atau mungkin plastic sehingga aku menggosok dengan
tanganku sendiri. Mencuci pun tidak boleh bisa banyak-banyak airnya supaya
tidak boros dan harus mengambil air. Sebenarnya masih kurang bersih tapi yaudah
lah ya kayaknya nggak papa. Kemudian aku menggoreng tahu dan tempe. Tak lama,
Mak Sri datang membawa beberapa sayuran yaitu daun papaya, kembang papaya, dan
papaya muda, oke semuanya pepaya. Mak Sri juga membawa “gude”, semacam
biji-bijian mirip kedelai yang katanya enak. Aku sendiri baru kali ini
melihatnya. Gude tadi disayur bersama pepaya muda yang sudah dipotong-potong.
Kuah sayur gude ini agak kehitaman, “Memang begitu mbak nek nyayur gude.”, kata
Mak Sri. Setelah sayur gude matang, kami membuat oseng daun dan bunga pepaya
pedas. Satu yang paling aku notice ketika memasak, beliau-beliau ini kalo
ngasih MSG cukup banyak yha hmm mantap. Mak Sri tadi juga sudah membawa nasi
jagung yang sudah matang. Sambil menunggu masakan matang, aku dan Meli
mengambil air dibawah di rumah Mbok. Ember pertama belum terasa apa-apa, ember
kedua masih kuatlah, sampai ember ketiga dan aku disuruh berhenti oleh Mak Ji.
Oke sepertinya beliau melihat napasku terengah-engah jadi tidak tega, duh aku
jadi malu huft lemah. Saat masakan sudah matang dan siap kami semua berkumpul
di ruang tamu dan sarapan pagi bersama, ada Mbok juga datang. Sarapan yang
sederhana tapi nikmat, Alhamdulillah. Yang paling bikin trenyuh sih masa Mak
Sri bilang, “Mbak, ini kalo nggak ada njenengan biasanya nggak pakai lauk lho,
oseng tok.”. Ya Allah padahal aku di rumah kaya apa:((
|
Ini yang namanya sayur "Gude" |
|
My breakfast, yummm :D |
Selanjutnya
aku dan Aulia, anak asuh keluarga Pak Wasi, diajak pergi ke ladang oleh Mbok
Karti. Keluarga Pak Yanto maupun Pak Wasi bukan petani sehingga yang masih
sering ke ladang adalah Kakung dan Mbok. Kami menuju ladang yang tidak jauh
dari perkampungan. Ladang milik Kakung dan Mbok cukup luas dan ditanami
berbagai palawija. Mereka juga memelihara 2 ekor sapi. “Niki pas wayahe mboten
wonten gawean, Mbak.”, begitu kata Mbok sehingga aku dan Aha hanya berkeliling
melihat ladang, super gabut dan nirfaedah sebenarnya hehe. Namun, kami sempat membantu mencabuti kacang sisa jarahan
kera-kera yang turun bukit, memetik beberapa jagung untuk dibuat bakwan, dan memberi pakan sapi. Ngomong-ngomong soal kera, memang sering kera-kera tersebut turun bukit dan menjarah tanaman warga. Tapi juga tak jarang para warga "hunting" kera untuk dimakan dagingnya, dimasak tongseng begitu katanya, kata Fiqih sih gitu, like yeah seriously kera?!?! Selain kera, mereka juga suka masak tupai a.k.a bajing, yang suka berkeliaran di pohon kelapa itu lho. Ckck.
|
Salah satu sudut ladang Kakung & Mbok |
|
Sapinya Mbok. Seekor harganya 26jeti baru beli 3 bulan lalu katanya. | |
Di ladang ini ada gubuk singgahnya juga. Ada tempat duduk-duduk dari kayu, kolam air tadah hujan (biar kalo ngasih minum sapi nggak ribet mbak, kata Kakung), dan perapian (biar nggak digigitin nyamuk, kata Kakung). Rasanya pengen mandi di sana serius, tapi yang bisa mandi cuma anak-anak kecil. Yakali sih mandi disana, padahal juga dibolehin loh HAHAHA.
|
Mak Ribut dengan jagungnya |
|
Mandinya di sebalik itu dan super sueger dan menyatu dengan alam ehehe |
|
Senapan angin milik Kang Toyo |
Kami tidak lama-lama di ladang dan terus pulang ke rumah. Sesampainya di rumah
aku turun ke rumah Mbok untuk bersih-bersih. Kamar mandi di rumah Mbok seperti
kebanyakan kamar mandi di sini, intip-able. Tinggi dindingnya cuma dibawah
pundak dikit. Aku tiap mau mandi pasti celingak-celinguk dulu, siapa tau ada
yang ngintip atau ada kamera tersembunyi #suudzon hehe. Selesai mandi kami
bersiap untuk bazaar murah di masjid. Sebelumnya makan siang dulu hehehehe. Btw, Mak Ribut bikin bakwan jagung beneran. Yang unik adalah this is seriously corn only, i mean without wheat. Jadi biji jagung itu ditumbuk terus dikasih bumbu terus udah digoreng aja. Agak atos begitu yha tapi enak. Maaf nggak ada potonya hehe.
Aku,
Aha, dan anak-anak kembali pulang ke rumah. Sampai disana sudah berkumpul
lengkap di ruang tamu keluarga Pak Wasi, wedangan istilahnya. Pokoknya setelah
aku amati memang kebiasaan tiap pagi dan sore adalah wedangan bersama dengan
menu yang selalu ada yaitu roti bunder a.k.a singkong goreng dipotong-potong.
Aku sendiri menikmatinya ehehe. Kami
kemudian lanjut makan malam, masih dengan masakan tadi pagi. Rasanya tetap enak
karena bersama-sama. Setelah makan selesai kami masih berbincang-bincang hingga
sudah waktunya aku dan Aha berkumpul di rumah pak RT untuk koordinasi
volunteer. Saat kami pulang lagi ke rumah, anak-anak sudah terlelap, begitu
pula para orang tua. Maka, kami pun ikut menyusul tidur karena rencana esok
pagi kami akan diajak jalan ke pantai Ngitun yuhuuuuu~~
Pagi,
Kamis, 22 Desember, pukul 04.00 aku sudah bangun (tanpa alarm, aku bangun duluan
daripada alarmnya) begitu pula Aha karena suaranya sudah terdengar di ruang
sebelah. Kami berdua pamit turun untuk sholat subuh pukul 04.30. Saat kami
selesai dan kembali, ternyata anak-anak sudah mulai melek. Pukul 05.00, aku,
Aha, Fiqih, Meli, Agus, dan Bagas berangkat jalan kaki ke pantai Ngitun yang
jaraknya 3 km dari kampung. Baru beberapa langkah, eh si Bagas nangis karena
ditinggal sang kakanda yaitu Kang Agus. Seriously manggilnya “Kang Agus” wkwk
lucu e. Oke sebenarnya ada Bagas menghambat laju perjalanan kami hft. Tapi Mak
Ribut sepertinya tidak tega dengan tangisan Bagas. Andai aku Mak-nya Bagas, beh
getak pisan ra manut guwang wqwqwq. Di jalan yang berbatu kami pun tidak bisa
berjalan cepat, kasihan Bagas lah, kakinya kan kecil. Akhirnya dia ku gendong
sesekali hingga sampai ke pantai. Untung Bagas masih kecil jadi nggak terlalu
berat juga gendongnya ehehe. Perjalanan yang cukup melelahkan terbayar dengan
pemandangan pantai Ngitun.
|
Oke jalanannya itu doesnt easy as it seems ya |
Kami sampai di pantai pukul 06.15, lumayan cepat ini
karena katanya biasanya kalo anak cowok itu 1 jam jalan kalo anak cewek bisa
sampe 2 jam hanya untuk jalan ke pantai. Di sana rupanya sudah ada Eka dan Mbak
Fatma yang tadi diboncengkan motor ayahnya saat kami hanya jalan kaki #kampret.
Anak-anak bermain air dan mandi di pantai. Aku hanya sesekali bermain air dan
mengambil beberapa foto Polaroid, anak-anak minta kenang-kenangan. Ada yang
unik dari pantai Ngitun yaitu tentang sebuah batu yang tidak boleh dipegang
karena kalau dipegang bisa jadi gila, begitu yang diceritakan Meli yang
kemudian aku ceritakan kepada Mbak Fatma. “Weh dek, aku lupa, aku tadi nggak
sadar megang batunya lho.”, kata Mbak Fatma yang membuatku tertawa dan
menggodanya, “Eh jangan gitu to Mbak Fat, aku nggak mau ngasih kabar ke kampung
kalo kamu jadi edan mbak hahahaha.”, yang membuat Mbak Fatma cemberut. Beberapa
rombongan juga datang yaitu Sekar dkk yang semalam ngajak berangkat pukul 05.00
eh ternyata malah aku yang beneran jam segitu dianya yang molor ew. Menjelang
pukul 07.00, Mak Sri dan Pak Wasi sudah datang menjemput kami. Ya, perjanjian
awal memang begitu, kami berangkat jalan kaki kemudian pulangnya baru dijemput
hehehe. Setelah anak-anak membilas tubuh, kami lekas pulang. Nggak sempat foto-foto banyak, selain refill polaroid yang limited, hapeku low batt hiks:(
|
Bersama bocah-bocah |
|
Ayuk-Sekar-Me |
Oke,
perjalanan pulang ini cukup ekstrim pemirsa. Pak Wasi, Aha, dan Bagas satu
motor. Aku, Mak Sri, Nita, dan Meli satu motor, ini agak overload ya. Benar
saja pada saat tanjakan tercuram, baru juga seperlima jalan, motor sudah macet
dan cepat-cepat aku turun karena masih ingin hidup. Jadilah aku jalan kaki
dengan para bocah lelaki yang jalan kaki yaitu si Fiqih dan Agus. Entah,
tanjakan itu terasa super berat bagiku sehingga aku ditertawai bocah-bocah itu.
Yakin deh itu paling sekitar yah 60-70 derajat kemiringannya. Mak Sri sudah
menunggu di atas. Perjuangan belum selesai sampai disitu. Jalan yang berbatu
membuat motor “ngogel-ngogel” yang untungnya Mak Sri sudah mahir, Alhamdulillah
yah. Aku dengan berdebar memegang erat sadel motor. Jalan berbatu tak apa, tapi
jatuh itu sakit, itu kata-kata Mak Sri yang oke itu memang benar. Mak Sri
sendiri bilang kalau hujan dia sendiri tidak berani. Memang sih tanah liat
bikin super licin. Aku cukup lega saat sudah masuk jalan perkampungan. Sampai
di rumah aku benar-benar lemas hingga Mak Ji bertanya, “Njenengan kenapa, Mbak?
Ketoke kok lemes tenan.”, duh lagi-lagi aku jadi malu #lemah. Setelah itu Mak
Ji menyuruhku mengambil air. Karena itu adalah hari terakhirku disana, aku
mencoba berbuat lebih banyak dan aku berhasil mengambil 4 ember air. Tidak
banyak sih, hanya selisih 1 ember tapi Mak Ji sudah senang wkwk. Kemudian aku
bersih-bersih dan bersiap packing pulang.
Pukul
12.00, aku dan Aha menuju ke rumah pak RT untuk makan siang bersama dan
mengambil jatah sembako untuk keluarga asuh. Setelah itu kami kembali lagi
untuk berpamitan. Ya, akhirnya ini waktunya pulang, berpisah dari mereka.. Aku
hanya membawa satu buah kenang-kenangan, dan kalau sesuai keluarga asuh, aku
hanya bisa memberi pada Mak Ji. Padahal, seluruh keluarga besar ini mengurusku.
Mereka juga memberiku oleh-oleh sekardus pula. Duh aku jadi super nggak enak:(:(:(
Mbok Karti, Mak Ji, Mak Sri, dan Mak Ribut berlinang air mata, Meli malah
benar-benar menangis. Etdah bocaaah:(:( Aku sendiri
tidak bisa menangis karena aku merasa ini bukan kali terakhir kita bertemu
tetapi suatu hari nanti aku pasti akan kembali lagi kesana…
|
Sewaktu pamitan pulang :'D |
Banyak
sekali nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari mereka, ditengah kesulitan
dan keterbatasan yang mereka hadapi. Terutama tentang arti bersyukur. Masalah
kesulitan akses air yang menjadi salah satu kebutuhan utama membuat kebersihan
diri dan lingkungan keluarga ini kurang terjaga. Sanitasi dua keluarga ini
terbatas. Anak-anak apabila ingin buang air kecil langsung menuju ke halaman
depan rumah dan (re: maaf) tanpa cebok maupun cuci tangan. Keterbatasan Mak Ji
pula membuat rumah sedikit tidak terurus dan terlihat kotor. Anak-anak sendiri
tidak punya hiburan lain selain nonton sinetron dan bermain game di HP. Makanan
yang dimakan juga sangat sederhana dan tiap hari kami pasti makan singkong.
Daging dan telur adalah makanan yang mewah bagi mereka. Akses kesehatan masih cukup jauh. Begitu pula
kegiatan rohani masyarakat yang kurang aktif. Masih banyak kekurangan lain yang
membuat aku bersyukur atas kehidupan yang aku jalani sekarang kala membuka kran
air masih keluar airnya bersih dan lancar.
Mahasiswa
punya peran yang besar dalam menghadapi permasalahan di masyarakat seperti ini.
Contohnya di Sureng I ini, mahasiswa Pertanian UGM sudah mulai membantu para
petani dengan membagi pembasmi hama organik. Seharusnya hal ini perlu diikuti
oleh mahasiswa dengan disiplin ilmu lain seperti medika dan teknik. Aku sempat
berbincang-bincang dengan Mak Ji dan Mbok Karti tentang penyakit yang diderita
Mak Ji dan banyak informasi-informasi kesehatan yang ternyata beliau-beliau
belum mengerti. Mahasiswa kelompok studi maupun yang suka melakukan penelitian
dapat terjun langsung dan menerapkan ilmunya. Satu hal yang membuat aku gemas
adalah kala mengambil air yang naik turun. Hal ini dapat sedikit diatasi dengan
membuat katrol sederhana yang pasti itu akan sangat mudah dibuat oleh mahasiswa
teknika. Bisa bermanfaat banget kalau mereka-mereka yang researcher langsung terjun mengatasi masalah di masyarakat. Selain itu aktivitas rohani warga perlu lebih ditingkatkan dan ini
memerlukan pengorbanan dari orang-orang yang benar-benar ingin mengabdi kepada
Allah.
Kegiatan
SOREM yang diadakan oleh DEMA Faperta UGM ini menurtku sudah banyak membantu
baik untuk warga kampung maupun peserta volunteer. Kami bisa “bertukar kawruh”
satu sama lain. Sebetulnya kegiatan pengabdian masyarakat seperti ini sebaiknya
dilakukan dengan tenggang waktu lebih lama, misalnya seminggu. Namun, aku
sendiri mengerti keterbatasan kemampuan panitia tapi apabila hal itu bisa
direalisasikan pasti mengabdinya akan lebih terasa. Beneran deh sumpah wkwk.
Aku berharap kegiatan SOREM ini bisa terus diadakan tiap tahun supaya mahasiswa
sedikit banyak bisa merasakan kehidupan nyata yang kejam dan keras dan air
susah.
Terlebih
dari itu semua, jangan lupa, beneran deh, banyak-banyaklah bersyukur. Terima kasih SOREM, aku punya keluarga baru! :)
*im waiting for next year's SOREM:p
No comments:
Post a Comment