Lagi corona dan hampir tidak produktif sama sekali sejak pandemi ini mulai,
well kecuali seminar 1 sks-ku pertengahan Maret lalu. Eh, padahal ini udah April wkwkw.
Tulisan ini bisa dibilang
another keembuhan
comes up in the midnight.
So, lets see.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gruyah-gruyuh, seperti judul di atas, mungkin menjadi salah satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan diri ini. Gruyah-gruyuh dalam bahasa Jawa artinya sempoyongan, payah, tidak stabil. Versi English yang cocok menurutku adalah "young, dumb, and broke".
Oke, kita ambil makna harfiahnya, terutama di bagian sempoyongan.
5 hari yang lalu aku baru saja jatuh, atau ya bisa disebut kecelakaan tunggal, dari motor yang kujalankan dan posisi ada adikku sebagai pembonceng di belakang. Kami terjatuh di siang hujan rintik selepas Dzuhur itu, dengan Vario 150 milik Ibu, ndlosor begitu saja di tengah jalan menyisakan kami berdua terkapar telungkup. Saat terjatuh, otomatis kesadaran otakku seakan berkata "hiyo ra kowe tibooo meneh" dan aku dalam kesadaranku pun membalas "heshhhhh aduhh kok ya tibo". Lalu aku pun ingat bahwa aku membawa nyawa lain di belakangku yaitu si Kencana. Aku segera berdiri dari kaparanku, oke lutut kiriku sepertinya tidak baik-baik saja. Orang-orang kemudian berhenti, termasuk penunggang sedan di depanku yang tadi tiba-tiba memperlambat kecepatan menjelang lampu berubah merah, penyebab aku mengerem mendadak dan terjadilah. Seorang bapak menepikan motorku. Aku masih berusaha menyuruh Nana untuk segera bangun dari tengkurapnya, "Sik too, raiso obah aku," dia sambil meringis. Aih, aku tidak tega tapi oh ayolah kita menepi dahulu. Akhirnya Nana bangun dengan tertatih, kami menepi sambil mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sudah menolong kami. Alhamdulillah motor tidak rusak, masih nyala, lecet dikit, dan spionnya bengkok. Agak lega karena setidaknya Bapak tidak akan terlalu marah, mungkin (?).
Kejadian ini tentu menambah deretan kecelakaan kebodohan yang pernah aku alami, beberapa kualami bersama kawanku. Kalau diruntut, yang aku ingat, pertama kali aku terjatuh parah adalah ketika aku masih kelas 1 SD. Aku dan sepeda mini pink-ku, kami nylungsep di kali kecil di belakang kampung kami. Aku lupa alasan mengapa aku bisa begitu saja tercebur di kali karena saat itu keadaan benar-benar sepi alias tidak ada lawan! Jalannya pun tidak begitu sempit. Kala itu begitu tercebur (aku sedang memakai daster pink Snoppy kesayanganku) basah, aku langsung berdiri, menaikkan sepedaku sendiri, kemudian kembali ke rumah. Anehnya sampai di rumah aku baru menangis. Mengapa pula aku harus menangis (?) Oh itu mungkin Ibu yang menanyai keadaanku sehingga aku menyadari bahwa kondisiku menyedihkan.
Kejadian kedua adalah saat aku kelas 5 SD. Aku sedang akan berangkat ke sekolah dengan sepeda Nexia Wim Cycle-ku. Saat aku sedang menyeberang jalan kabupaten di depan kampung kami ke arah selatan, dari arah berlawanan ada bapak yang menaiki Beat pink menuju kearah yang akan ku ambil mengakibatkan terjadi sesaat kesalahpahaman di tengah jalan lalu saat aku melanjutkan genjotanku, tiba-tiba semua gelap. Aku membuka mata dan aku sudah terkapar di aspal. Ternyata aku keburu ditabrak dari arah timur. Alhamdulillah, aku selamat dan hanya mengalami sedikit lecet. Selanjutnya aku masih kerap bertemu dengan bapak Beat pink tersebut dan entah mengapa mungkin aku masih menyimpan rasa kesalku padanya.
Kejadian ketiga adalah saat aku kelas 1 SMA. Waktu itu aku sudah naik motor, walau negara belum boleh hehe. Sore itu aku menaiki Beat putih Ibu, menuju bimbel. Masih di tempat yang sama seperti kejadian kedua, lagi-lagi semua gelap dan mataku terbuka dengan posisi terkapar. Hoalah. Lukanya yah memang tidak banyak, tapi masih berbekas di tangan kananku. Entah siapa yang salah, mungkin aku juga yang salah, sudah lupa. Tapi antara penabrak dan aku sama-sama selamat dan kami damai karena sama-sama tidak mengalami luka serius maupun kerusakan parah.
Kejadian keempat adalah setahun setelahnya saat aku kelas 2 SMA. Waktu itu aku dan seorang teman bernama Lulu, kami sedang bertugas sebagai panitia try-out yang diselenggarakan oleh OSIS SMA kami, mencari sponsor untuk konsumsi. Kami berdua menuju kantor pusat Jogja Chicken di daerah Gejayan. Setelah negosiasi dilakukan, kami kemudian pulang. Lulu dengan motor bebek agak butut dan non-matic miliknya, memboncengkanku pulang. Kami sama-sama memakai rok abu-abu SMA dan memakai almamater. Aku yang membonceng miring ke samping tidak mengetahui apapun hingga tiba-tiba tubuhku oleng ke belakang mirip adegan rol belakang lalu telentang di tengah terik jalan Affandi. Aku menemukan Lulu tidak jauh dariku. Ya Allah, ternyata kami terkapar karena Lulu mendadak ngerem karena tiba-tiba ada motor kronjot di depan kami. Lulu dengan masih gemetar mengeluh kakinya sakit. Aku yang merasa terjatuh dengan rol belakang cukup mulus kemudian menggantikan Lulu memboncengkannya kembali sampai SMA. Jangan ditanya ya motor kronjotnya sudah pergi. Oiya, sebelumnya motor Lulu perlu dibawa ke bengkel sebentar. Untung loh bisa pulang.
Kejadian kelima adalah saat aku awal masuk kuliah. Waktu itu aku berangkat gladi bersih PPSMB UGM 2016 bersama tetangga depan rumahku, Tiwpau, kebetulan kami masuk ke Fakultas yang sama sehingga kami memutuskan untuk berangkat bersama. Beberapa hari sebelumnya kami juga sudah pergi bersama ke kampus untuk mengambil almamater. Pagi yang cerah itu jalan Cik di Tiro menjelang bunderan UGM ramai padat seperti biasanya. Aku yang masih newbie dengan lalu lintas padat di daerah tersebut, tiba-tiba juga sudah ndlosor dengan posisi badan depanku langsung mencium aspal. Well, sebenarnya aku agak lupa posisi awal aku jatuh karena yang kurasakan adalah bibir atasku perih dan gigi depanku muncul retakan tapi tidak patah. Aku jatuh begitu pula Tiwpau di belakangku. Kasusnya adalah mobil di depanku mengerem mendadak, aku tidak siap, dan jadilah syudududu. Aku ingat sekali aku memakai celana panjang hitamku yang baru khusus untuk gladi kali ini, yang jadi sedikit bolong di sebelah kiri. Kami tetap melanjutkan perjalanan ke kampus, jelas. Tiwpau tidak mengalami luka separah aku tapi aku tau badannya mungkin pasti terasa remuk karena benturan itu.
Kejadian keenam adalah saat aku masuk semester 3. Aku kerap melakukan perjalanan ke Gunung Kidul menuju ke desa binaan dari BEM fakultas yang letaknya nun jauh di Tepus, perlu 2 jam perjalanan dari kampus. Kali ini bukan aku yang mengemudikan motor, melainkan sahabatku, Bernadetha, karena entah mengapa aku merasa sedang capek dan memutuskan si Bern yang mengemudikan menuju desa lalu nanti aku bergantian saat perjalanan pulang. Jalan Wonosari ramai seperti biasanya dan banyak kendaraan besar ngebut jadi memang harus berhati-hati, padahal kiri kanannya adalah perkampungan. Waktu itu entah apa yang ada di pikiran Bern, kami sedang berada dalam kecepatan cukup tinggi lalu di depan kami tiba-tiba ada motor dan "CIIIIIIIIIIITTTTTTTTT", Bern mengerem Mio Soul putihnya sekuat tenaga. Badannya benar-benar maju kedepan sampai stang. Saat itu aku hanya memejamkan mata dan pasrah. Alhamdulillah, kami tidak sampai jatuh tapi kami sama-sama shock. Akhirnya aku yang menggantikan Bern mengemudikan motor dengan selamat sampai desa dan juga perjalanan pulang dengan selamat pula.
Kejadian ketujuh adalah saat aku di semester 5. Waktu itu petang hari saat aku harus mengambil plastik packaging untuk berangkat lomba ke Semarang esok harinya. Aku, Sekar, dan Husna, masing-masing dengan motor kami menuju ke daerah Wirosaban tempat tukang sablon plastik. Husna terpisah dengan aku dan Sekar lalu aku memutuskan untuk tetap berjalan. Aku sembari melihat maps di tangan kiri dan tangan kanan mengemudi. Sebenarnya kondisi jalan tidak terlalu ramai tetapi saat aku tengah menoleh ke HP, ternyata di depanku ada gondes dengan motor butut tanpa sen dan jelas tidak memakai helm mendadak berhenti dan belok ke kanan. Otomatis aku mengerem dan terlempar ke kiri. Sekar yang tepat di belakangku menabrak motorku dan dia terlempar ke kanan. Di depan Sekar ada mobil yang melintas dan hampir menabraknya. Ya Allah... Sepertinya itu memang kebodohan kami, atau lebih tepatnya kebodohanku. Sing sabar ya, Kar, punya temen kaya aku. Hiks.
Kejadian kedelapan adalah di awal bulan keempat tahun 2019, aku di semester 6. Waktu itu selepas ashar yang lumayan hujan rintik, aku berangkat untuk mengumpulkan baju donasi KKN dan ikut mengambil buku donasi KKN di daerah ring-road utara. Sampai di jalan Bantul tepatnya di depan Damai Indah yang memang ada pertigaan kecil, lagi-lagi aku ndlosor sendirian. Masih kasus yang sama, mobil di depanku berhenti mendadak. Jalan cukup licin dan tampaknya ban-ku tidak bisa berkompromi kecuali akhirnya ngogel dan melemparku ke kiri. Baju donasi-ku berceceran di jalan. Healah. Orang-orang baik masih menyertaiku dan membantuku membereskan kekacauan itu. Saat itu tukang parkir Damai Indah meyakinkanku bahwa aku tidak salah karena memang mobil itu yang bersalah. Tapi sudahlah, aku sudah masa bodoh. Aku pun melanjutkan perjalanan sambil mengetahui takdir bahwa celana kulot kesayangan yang ku pakai ini hampir bolong di lutut kiri-nya.
Otomatis, kejadian 5 hari yang lalu di 2020 ini adalah kejadian kesembilan. Saat aku pulang entah mengapa Bapak dan Ibu tidak berkomentar banyak. Padahal aku amat takut karena aku juga membawa adikku ikut jatuh. Niat hari itu adalah aku ingin mengunjungi Husna yang sidang skripsi hari itu untuk membawakannya bunga lalu pulang dan membeli bahan kue. Aku mengajak Nana karena kasihan dia tidak pernah keluar jauh semenjak pandemi ini. Jadi memang tujuan kami keluar bukan tanpa alasan, punya tujuan, dan (pengennya) cepet-cepet aja. Aku baru sampai rumah sore hari setelah mampir kemana-mana mencari bahan kue. Ternyata luka di lutut kiriku cukup tragis. Bapak langsung membenahi spion dan Ibu langsung memberiku minyak pada lukaku. Seakan beliau berdua sudah lebih dari paham betapa asli rapuh anak sulung mereka, betapa hobi lututnya mencium aspal, betapa tidak stabil seakan butuh penstabil. Kamu kenapa sih, nak? Pingin nikah? [owhhh tydack spt itu ayah bunda🙏]
"Terus sebenernya apa pelajaran yang kamu dapet sih, Pus, di setiap kamu jatuh? Udah banyak banget loh!"
Well, seharusnya kebodohan memang tidak untuk diulang ya gais. Tapi entahlah, memang seperti itu yang terjadi. Aku hanya merasa semakin tegar menjalankan hidup, dalam artian memperluas sabarku, menguji mental dan ketahananku menghadapi guncangan tersebut. Mungkin Allah ingin memperlihatkanku bahwa betapa Dia masih sayang sama aku karena berkali-kali dikenai musibah dan Alhamdulillah masih diberi selamat oleh-Nya. Atau mungkin aku pernah melakukan dosa maksiat yang tidak pernah kusadari dan dengan ini Allah membalasku untuk menggugurkan dosa (?) Entah, aku benar-benar tidak mengerti. Yang jelas memang aku ini ternyata cukup ceroboh walaupun aku lulus ujian SIM secara legal huft. Beberapa kejadian terjadi saat suasana hatiku tidak cukup tenang alias cukup gelisah. Hati yang tidak tenang memang sumber masalah gais ternyata.
Tetapi kembali lagi ke Allah, mungkin memang Allah sedang menginginkanku kembali dekat pada-Nya dan memahami syukur atas nikmat-Nya yang ternyata memang tiada duanya. Aku jatuh di bulan Ramadhan yang cukup sepi gaungnya di tahun ini akibat pandemi. Lutut kiriku yang bonyok ini, terbonyok selama ini, memaksaku untuk shalat dengan posisi duduk untuk waktu yang bisa jadi agak lama. Ternyata posisi shalat duduk ini menandakan ketidakmampuanmu di banyak hal. Segala hal jadi terasa repot karena aku harus berjalan agak pincang agar luka-luka ini tidak terbuka lagi. Betapa besar memang ya nikmat shalat sambil berdiri😢 Astaghfirullahaladzim......😭
Oke jadi pesan dari cerita ini adalah selalu hati-hati di jalan ya, gais! Pastikan suasana hati tenang dan selalu ingat Allah! Kalau kamu merasa sudah berdoa, kencengin lagi aja doanya!! Semoga Allah selalu melindungi kita semua😇